Perhatikanlah sejumlah acara hiburan musik live di beberapa stasiun televisi. Sebagian penonton yang kritis akan bertanya-tanya, itu anak-anak sepantaran siswa apa tidak bersekolah ya? Ada pula yang mengajukan pertanyaan, penontonnya kelihatannya itu-itu saja, apa itu penonton “bayaran”?
Benar, anak-anak remaja itu bukanlah penonton yang relawan dan bergonta-ganti setiap episode tayangan. Hampir semua penonton acara itu merupakan penonton bayaran. Dan, mereka biasa dikenal sebagai “anak alay” yakni sebutan untuk remaja yang tampil berlebihan.
Gaya yang berlebihan tersebut memang yang diharapkan dari jagad hiburan. Artinya, tak hanya artis atau penyanyinya yang tampil seru, tapi juga harus didukung penonton yang heboh agar menarik perhatian pemirsa layar kaca. Maka, tak heran jika para alay itu berkelakuan berlebihan, yang kadang tak lazim, berjoget ala Psy, bergaya kebanci-bancian, dan gaya lebay yang memancing perhatian pembawa acara maupun pemirsanya.
Acara seperti Dahsyat dan Inbox yang tayang setiap pagi, itu memang memiliki rating yang cukup tinggi, sehingga eksistensinya tetap dipertahankan oleh manajemen teve. Ketika komoditas hiburan ini dapat meraup untung besar bagi media, maka berbagai cara untuk terus dapat rating tinggi terus dicari.
Kelompok remaja alay tampaknya menjadi salah satu faktor yang mengantarkan acara hiburan live musik itu sukses. Bisnis mendatangkan alayers, sebutan mereka, pun jadi lahan baru. Seperti dikutip tempo.co, seorang koordinator alayers, Ely Sugigi, 41 tahun,mampu mendatangkan ratusan penonton bayaran itu mampu meraup untung Rp 30 juta per bulan. Siapa yang tak tertarik? Belakangan bisnis makin banyak kompetitornya.
Bagi seorang dosen Komunikasi FISIP UI sekaligus pengamat media, Nina Mutmainah Armando, fenomena acara semacam itu yang mendatangkan alayers itu tidak ada manfaatnya, terlebih untuk dijadikan panutan. “Seingat saya enggak ada edukasinya, cuma becanda-becanda. Penontonnya memang kebanyakan remaja, orang tuanya yang sedikit” ujarnya, seperti dikutip tempo.co (10/6/2013).
Gaya alayers itu, menurut Nina, bisa memberikan pengaruh jika remaja yang tidak kritis atau tidak mengetahui kalau yang dilakukan remaja alay itu adalah bayaran. “Penonton enggak tahu kalau mereka melakukan itu dibayar. Potensi dampak bagi remaja yang tidak kritis,” katanya.
Sebagian besar penonton yang menyaksikan tayangan live itu memang tak tahu di balik alayers yang kadang beraksi overacting itu. Yang mereka tahu acara itu penuh canda dan ceria. Hanya sebagian kecil remaja kritislah yang mampu memahami dunia akting dan hiburan di baliknya. Gaya dan aksi alayers tersebut bukan untuk ditiru, tapi sekadar dipahami saja. [ibnu salgan]
0 komentar:
Posting Komentar