Masjid Nabawi pada suatu siang. Rasulullah terlihat sedang mencari seseorang. Setiap sudut masjid beliau amati. Ia mencari seseorang yang biasa beliau temui di masjid. Seorang nenek tua yang tak pernah dihiraukan oleh yang lain, bahkan oleh para sahabat sendiri. Karena tak ada yang terlalu istimewa dari nenek itu. Hanya satu yang diingat untuk memunculkan gambaran tentang sang nenek: ia biasa membersihkan masjid. Itu saja, tak lebih. Tapi siang itu ia tidak terlihat di masjid dan Rasulullah merasakan ketidakhadirannya. Pada para sahabat beliau menanyakan tentang keberadaan sang nenek, dan sepenggal kalimat ‘yang biasa membersihkan masjid’ menjadi diferensiasi dari sekian perempuan tua yang biasa mendatangi masjid Nabawi.
Para sahabat keheranan dengan pertanyaan Rasulullah. Seorang perempuan tua mendapat perhatian begitu besar dari Rasulullah saw. Para sahabat lalu menyampaikan bahwa nenek tua yang biasa membersihkan masjid itu telah meninggal.
“Kenapa kalian tidak mengabariku?” Rasulullah tersentak. Kaget. Para sahabat semakin heran.
“Dia meninggal di malam hari dan kami tidak ingin mengganggu engkau, ya Rasulullah.” Beliau terlihat tersentak. Wanita yang biasa ditemuinya di masjid telah meninggal dan tidak diketahuinya. “Tolong tunjukkan kepadaku kuburannya.” Pintanya kepada para sahabat.
Siang itu pula Rasulullah menuju kuburan sederhana itu. Beliau shalat dan berdoa untuknya (Bukhari dan Muslim).
Sepenggal kisah itu menjadi bukti bahwa Rasulullah tidak pernah mengabaikan perbuatan baik sekecil apapun. Kemuliaan seseorang senantiasa dilekatkan pada tindakannya, sekecil apapun itu. Oleh karena itu, setiap usaha untuk mengenal seseorang selalu dikaitkan dengan tindakannya. Tindakan pada akhirnya menjadi unsur pembeda antara seseorang dengan orang lain. Persis seperti yang diungkapkan Rasulullah tentang wanita tua itu: yang biasa membersihkan masjid.
Itulah sebabnya dalam rentang sejarah yang panjang, orang-orang besar selalu dilekatkan dengan karyanya, dengan tindakannya, bukan dengan gambaran fisiknya. Mereka dikaitkan dengan pesona kepribadiannya, bukan dengan polesan penampilannya. Sayangnya, banyak yang terjebak dalam perkara ini. Sebagian orang memahami bahwa polesan-polesan yang melekat dalam diri mampu menciptakan balutan yang rekat dalam ingatan orang.
Tidak sekedar itu saja. Mereka yang dianggap kecil dan tidak pernah dikenal oleh banyak orang mendadak menginspirasi, bukan karena penampilan fisiknya yang mengundang decak kagum, tapi karena perbuatan yang dilakukannya. Sekecil apapun tindakan yang dilakukan untuk kebaikan, dia akan menjadi penjelas dari pribadi kita. Dia akan menambahkan identitas kita. Hal inilah yang sekaligus menjelaskan bahwa ternyata kepribadian kita yang kompleks ini dapat dijelaskan dengan mudah melalui tindakan, sekecil apapun dia. Inilah yang dapat kita pelajari dari kisah sederhana di atas.
Sampai saat ini kita tidak pernah mengenal nama dan identitas lain dari ‘wanita pembersih masjid’ itu. Tidak ada satu pun identitas kediriannya yang tersisa, kecuali sepenggal kisah bahwa Rasulullah sangat bersedih atas kematiannya. Selebihnya tidak ada yang dapat dilacak. Tapi ini tidak berarti bahwa wanita tersebut tidak bisa dikenali. Ia masih bisa kita ingat sampai saat ini, setelah ratusan tahun yang lalu, ia dengan ikhlas membersihkan debu-debu masjid Nabawi. Pekerjaan yang berangkat dari kadar kesanggupannya. Ia memang tidak mampu berbuat seperti Utsman atau Abdurrahman bin Auf yang menyerahkan hartanya untuk perjuangan dakwah. Ia tidak mampu menerangjelaskan hikmah dan ilmu layaknya Aisyah. Tapi di antara keterbatasan yang dimilikinya, ia tetap ingin berbuat.
Ada banyak orang-orang yang susah dihapus dari ingatan. Bukan karena wajahnya yang rupawan. Bukan pula karena hartanya yang melimpah. Bukan karena karir akademiknya yang menjadikan kebanggaan. Ada banyak orang-orang yang sulit dilupakan, karena mereka melakukan suatu kebaikan tidak agar mereka diingat, tapi karena memang ingin berbuat. Insya Allah, mereka masih dapat kita temukan. Jumlahnya pun sangat banyak. Tapi kita tidak pernah mengenali karena mereka berbuat dalam diam, dalam kesunyian.
Layaknya perempuan tua yang biasa membersihkan masjid dari kisah di atas, yang perlu kita lakukan hanyalah melipatgandakan peran, menjernihkan motif setiap pengorbanan, dan terus berbuat sebesar yang bisa dilakukan. Terlibat di tengah masyarakat dan secara tulus mendampingi mereka. Dengan jalan ini hidup kita menjadi nyata dan jauh lebih bermakna. Orang bisa saja mencela, tetapi kepercayaan masyarakat sangat dipengaruhi oleh seberapa intens kita ada di tengah-tengah mereka; tulus melayani, bermula karena peduli.
Semoga hidup ini, betapapun sederhananya, mampu memberikan inspirasi bagi sesama. Sebab kematian yang indah selalu menyisakan ‘keterangan kerja’ di belakang nama kita, seberapapun kecil kerja-kerja kebaikan yg telah dilakukan. []
*Penulis: @dwiboediyanto on twitter
0 komentar:
Posting Komentar