Di Baqi’yang hening, kampung kecil dipinggiran Madinah, Rasulullah seperti biasa menyampaikan nasehat-nasehatnya. “Siapa yang pada hari ini mengeluarkan shadaqah ,maka aku akan memberikan kesaksian baginya di sisi Allah pada hari kiamat.” begitu Rasulullah mengabarkan berita gembira. Ya, siapa tak senang, bila di akhirat Rasulullah menjadi saksi atas sedekahnya? Atas kebaikannya?
Tak lama, datang seorang penduduk. Orang itu begitu hitam kulitnya, paling pendek diantara penduduk yang lain. Bahkan lelaki itu selama ini dianggap paling hina di antara mereka. Dia datang membawa seeokor unta yang sangat bagus. Tidak ada seekor untapun yang lebih bagus dari unta miliknya.
“Apakah unta ini untuk shodaqoh?” tanya Rasulullah S.AW.
“ Benar wahai Rasulullah,” jawab lelaki itu. Kemudian, ada orang berkomentar mengejeknya, “Dia mensedekahkan untanya? Padahal unta itu lebih bagus dari dirinya?”
Mendengar perkataan itu, Rasulullah tidak senang dan berkata,”kamu sangat keliru, itu tidak benar. Bahkan orang ini lebih baik dari dirimu dan untanya. Engkau keliru,”Rasulullah bahkan mengulang perkataan itu tiga kali. Lalu menambahkan,”Beruntunglah orang yang zuhud,dan juga berusaha.”
Begitulah, lelaki yang hitam dan pendek penduduk Baqi’ itu, dia adalah contoh tentang orang baik yang dilecehkan. Ia bukan saja tidak terkenal, bahkan dia dianggap paling hina diantara semua warga kampung itu.
Wajahnya hitam, tubuhnya pendek, Untanya lebih ‘ganteng’ dari dirinya. Pola pikir “lelaki pendek, hitam, lebih jelek dari untanya” seperti itu, sesungguhnya hari-hari ini begitu mewabah. Kita hidup ditengah masyarakat yang hanya melihat harga orang lain dari tampilan luarnya.
Maka disinilah berlaku hukum ketenaran, keterkenalan, kemasyhuran. Sesuatu yang sangat mudah direka-reka oleh industri media yang menggurita. Raksasa media hanya punya satu bahasa: Bila kamu tidak terkenal, maka kamu bukan siapa-siapa. Kamu, hanyalah “lelaki pendek, hitam, yang lebih jelek dari unta”. Industri media semakin mengokohkan, bahwa menjadi terkenal pada saat ini tidak harus karena kebaikan. Ia bisa membuat buruk bisa tampil berkesan baik, alami, manusiawi, dan bagian dari hak asasi.
Sebaliknya, ia bisa menampilkan orang-orang baik, dalam format yang kumal, lusuh, dan tak punya gairah hidup. Semua itu, telah memaksa orang dengan perlahan namun sangat massif, untuk merekam dibawah alam sadarnya, bahwa orang-orang besar ialah mereka yang berulang-ulang muncul di televisi, tampil diatas panggung, menyeruak diatas pentas. Maka semua akan menjadi sumpek dan sangat terbatas.
Padahal, ada berjuta orang baik yang tak kita kenal. Ada berjuta orang baik yang tak pernah dikenal sama sekali. Memahami prinsip ini sangat penting. Tidak semata dengan etika memahami sesama.Agar kita tidak mengukur kebaikan dengan kacamata pribadi. Wallahu ‘alam.
( Nawardi/Red)
Home »
KISAH ISLAMI
» Lelaki Pendek, Hitam dan lebih Jelek dari Untanya
0 komentar:
Posting Komentar