Home » » Asma’ Binti Abu Bakar – Pemilik Dua Ikat Pinggang

Asma’ Binti Abu Bakar – Pemilik Dua Ikat Pinggang

Written By learnforex on Minggu, 09 Juni 2013 | 01.21

Beliau adalah Ummu Abdullah al-Qurasyiyah at-Tamiyah putri dari seorang laki-laki yang pertama masuk Islam setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, penghulu kaum muslimin yakni Abu Bakar ash-Shiddiq    sedangkan ibunya bernama Qatilah binti Abdul Uzza al-Amiriyah.

Asma` adalah ibu dari sahabat seorang pejuang yang bernama Abdullah bin Zubeir. Beliau adalah saudari dari Ummul mukminin `Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mana usia beliau lebih tua belasan tahun daripada Aisyah. Beliau adalah wanita muhajirah yang paling akhir wafat.


Asma’ masuk Islam setelah ada tujuh orang yang masuk Islam. Beliau membaiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beriman kepadanya dengan iman yang kuat. Di antara tanda baiknya Islam beliau adalah tatkala ibunya yang bernama Qatilah (telah diceraikan oleh Abu Bakar tatkala zaman jahiliyah) mendatanginya dan mengunjunginya, beliau enggan menemuinya dan menolak hadiah darinya. Di dalam Shahihain dari Asma` binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anha berkata, “Ibuku mendatangiku sedangkan dia masih musyrik pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka saya meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata, “Sesungguhnya ibuku mendatangi diriku dengan penuh harap, apakah aku boleh berhubungan dengannya?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya berhubunganlah dengan ibumu.” [1]

Adapun beliau dipanggil dengan “Dzatun Nithaqain” (pemilik dua ikat pinggang) karena beliau pernah membelah ikat pinggangnya menjadi dua untuk mempermudah baginya dalam membawa dan menyembunyikan makanan dan minuman yang akan beliau kirim ke gua Tsur untuk Rasulullah tatkala beliau hijrah. Manakala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat apa yang telah dilakukan oleh Asma’ terhadap ikat pinggangnya tersebut maka beliau memberi julukan kepadanya “Dzatun Nithaqain” (pemilik dua ikat pinggang).[2]

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah dari Makkah menuju Madinah dengan ditemani oleh Abu Bakar yang membawa seluruh hartanya yang berjumlah 5.000 atau 6.000 dinar, maka datanglah kakeknya yang bernama Abu Quhafah yang telah hilang penglihatannya seraya berkata, “Sesungguhnya Abu Bakar itu hendak mencelakakan kalian dengan membawa seluruh harta dan jiwanya.” Maka tiadalah yang diperbuat oleh seorang gadis yang suci dan pemberani tersebut melainkan berkata, “Jangan begitu… beliau telah meninggalkan bagi kita harta yang baik dan yang banyak.” Kemudian beliau mengambil batu-batu dan beliau letakkan di lubang dinding lalu beliau tutupi dengan kain dan beliau pegang tangan kakeknya lalu beliau sentuhkan tangan kakeknya pada kain tersebut sambil berkata, “Inilah yang beliau tinggalkan buat kita.” Abu Quhafah berkata, “Jika dia telah meninggalkan bagi kalian barang-barang ini ya sudah.” Dengan hal itu beliau telah meredam kemarahan kakeknya, menenangkan fikirannya dan menentramkan hatinya.[3]

Ketika masih kecil Dzatun Nithaqain telah menghadapi gangguan dari musuh Allah Abu Jahal yang datang kepadanya untuk memaksanya agar memberitahukan rahasia tempat ayahnya. Akan tetapi beliau tetap menjaga tanggung jawab sekalipun masih berusia muda, beliau menyadari bahwa satu kata yang keluar dari mulutnya bisa menyebabkan bahaya besar menimpa Rasulullah dan ayahnya. maka beliau hanya diam dan tidak ada kalimat yang keluar dari mulutnya selain, “Aku tidak tahu.” Maka si musuh Allah itu akhirnya menampar beliau dengan tamparan yang keras hingga jatuh anting-antingnya, kemudian meninggalkan beliau dan pergi dengan menyimpan kejengkelan menghadapi gadis yang dianggap keras kepala tersebut. [4]

Begitulah kelakuan orang yang kejam pada setiap masa, manakala tidak bisa memukul dan membunuh laki-laki, mereka memukul wanita dan anak-anak.

Tidak lama kemudian Asma` menyusul ke negeri hijrah dan di sanalah beliau melahirkan Abdullah, anak pertama yang dilahirkan dalam Islam.

Sungguh Dzatun Nithaqain telah memberikan contoh hidup dan teladan yang baik dalam hal sabar menghadapi kesulitan hidup dan serba kekurangan, senantiasa berusaha taat kepada swami dan menjaga keridhaan suaminya. Telah disebutkan di dalam hadits yang shahih beliau berkata:

“Zubeir menikahiku sedangkan dia tidak memiliki apa-apa kecuali kudanya. Akulah yang mengurusnya dan memberinya makan, dan aku pula yang mengairi pohon kurma, mencari air dan mengadon roti. Aku juga mengusung kurma yang dipotong oleh Rasulullah dari tanahnya Zubeir yang aku sunggi di atas kepalaku sejauh dua pertiga farsakh (kira-kira 2 km). Pada suatu hari tatkala saya sedang mengusung kurma di atas kepala, saya bertemu dengan Rasulullah bersama seseorang. Beliau bersabda “ikh… ikh…” (ucapan untuk menghentikan kendaraan-pent) dengan maksud agar aku naik kendaraan di belakangnya namun saya merasa malu dan saya ingat Zubeir dan rasa cemburunya, maka beliau berlalu. Tatkala saya sampai di rumah, aku kabarkan hal itu kepada Zubeir lalu dia berkata, “Demi Allah engkau mengusung kurma tersebut lebih berat bagiku dari pada engkau mengendarai kendaraan bersama beliau.” Kemudian Asma’ radhiyallahu ‘anha berkata, “Sampai akhirnya Abu Bakar mengirim pembantu setelah itu, sehingga saya merasa cukup untuk mengurusi kuda, seakan-akan dia telah membebaskanku.” [5]

Setelah semua kesabaran itu hasilnya adalah beliau dan suaminya mendapatkan banyak nikmat, akan tetapi beliau tidak sombong dengan kekayaannya. Bahkan beliau adalah seorang yang dermawan dan pemurah dan tidak suka menyimpan sesuatu untuk besok. Apabila sakit, beliau menunggu hingga sembuh kemudian beliau merdekakan semua budak yang dia miliki serta berkata kepada anak-anaknya, “Berinfaklah dan bersedekahlah clan janganlah kalian menunggu banyaknya harta. [6]
Asma` radhiyalahu ‘anha adalah seorang wanita yang pemberani tidak takut celaan dari orang yang suka mencela di jalan di Allah. Beliau juga menyertai perang Yarmuk dan beliau berperang sebagaimana layaknya para pejuang.

Tatkala banyaknya pencuri di Madinah pada masa Said bin Ash, beliau mengambil pisau dan beliau letakkan di bawah kepalanya. Tatkala beliau ditanya, apa yang akan anda perbuat dengan pisau itu? Beliau menjawab, “Apabila ada pencuri masuk ke rumahku maka akan aku robek perutnya.” [7]

Adapun tentang kebulatan tekad dan kebesaran jiwa yang dimiliki oleh Asma` kita dapat mengenalinya dari nasihat beliau kepada putranya yakni Abdullah pada saat Abdullah menemui beliau untuk meminta pertimbangan tatkala Hajjaj mengepung Makkah. Ketika itu Asma’ telah berusia senja mendekati 100 tahun. Abdullah berkata, “Wahai ibu sungguh orang-orang telah menghinaku bahkan keluargaku dan anakku, sehingga tiada lagi yang bersamaku melainkan sedikit yang mereka tidak kuasa melawan, sedangkan ada kaum yang menawariku dengan dunia, maka bagaimana pendapat ibu?” Dalam menghadapi ujian yang sulit bagi seorang ibu tersebut hilanglah rasa lemah dan menguatlah rasa wibawa dan kemuliaan beliau berkata kepada putranya:

“Adapun engkau wahai anakku, lebih mengetahui terhadap dirimu. Jika kamu mengetahui bahwa engkau di atas kebenaran dan mengajak kepada kebenaran, maka kerjakanlah. Sungguh telah terbunuh sahabat-sahabatmu karenanya, sedangkan tidak mungkin engkau dipermainkan oleh anak-anak Bani Umayah. Jika engkau hanya menginginkan dunia, maka seburuk-buruk hamba adalah engkau, dan berarti kamu telah membinasakan dirimu sendiri, dan telah membinasakan orang yang berperang bersamamu.”

Abdullah berkata, “Demi Allah ini adalah pendapat yang bagus wahai ibu, akan tetapi saya takut jika penduduk Syam membunuhku dan mencincang tubuhku lalu menyalibku.” Maka sang ibu menjawab, “Wahai anakku…sesungguhnya kambing tidak lagi merasakan sakit dipotong-potong tubuhnya setelah disembelih. Maka berangkatlah dengan bashirahmu dan mintalah pertolongan kepada Allah.”

Tatkala Asma` menjumpai Abdullah untuk mengucapkan perpisahan dan merangkulnya, beliau memegang baju besi yang dikenakan anaknya dan berkata, “Apa ini wahai Abdullah apa yang kamu kehendaki?” Maka ditanggalkanlah baju besi tersebut dan keluarlah Abdullah untuk berperang dan beliau senantiasa teguh dan berani dalam menyerang musuh hingga beliau terbunuh. Hajjaj memerintahkan pasukannya agar mayat beliau disalib. Kemudian dia mendatangi Asma` dan berkata, “Wahai ibu sesungguhnya Amirul Mukminin telah berwasiat kepadaku agar menanyakan kebutuhan anda.” Beliau menjawab, ‘Aku bukanlah ibumu akan tetapi ibu dari orang yang disalib di atas pohon (Abdullah). Adapun aku tidak memiliki keperluan apa-apa selain aku beritahukan kepadamu bahwa aku telah mendengar Rasulullah bersabda:
`Akan muncul di Tsaqif seorang pendusta dan seorang perusak. Adapun sang pendusta kita telah mengetahuinya, sedangkan seorang perusak itu adalah kamu.”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa tatkala Hajjaj menemui Asma` dia berkata dengan sombong, “Bagaimana pendapatmu tentang apa yang telah aku perbuat terhadap anakmu wahai Asma`?” Asma` menjawab dengan tenang, “Engkau telah merusak dunianya, namun dia (Abdullah) telah merusak akhiratmu.” [8]

Asma` radhiyallahu ‘anha wafat di Makkah beberapa hari setelah terbunuhnya putra beliau Abdullah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Sa’ad. Adapun terbunuhnya Abdullah pada tanggal 17 Jumadil ‘ula tahun 73 Hijriyah. Tak ada satupun gigi beliau yang telah tanggal, akalnyapun masih jernih dan belum pikun (padahal telah berumur seratus tahun).

Semoga Allah merahmati Asma’ Dzatun Nithaqain karena beliau berhak untuk menjadi teladan yang diikuti dan juga contoh yang baik untuk dirimu.

Foot Note:
[1] HR. al-Bukhari (111/142) dalam al-Hibah pada bab: Hadiah bagi Orang-orang Musyrik dan Firman Allah Ta’ala, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.” (QS. al-Mumtahanah: 8). Diriwayatkan pula oleh Muslim dalam Zakat no. 1003.

[2] Riwayat tentang pemberian nama Asma’ dengan gelar Dzatun Nithaqain. diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Manakib pada bab: Hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Para Sahabatnya ke Madinah (IV/258). Diriwayatkan pula oleh Ibnu Sa’ad dalam ath- Thabaqat (VIII/250).

[3] Lihatlah al-Khabar dalam Sirah Nabawiyah oleh Ibnu Hisyam (I/488). Imam adz-Dzahabi menukil darinya dalam Siyaru A’lam an-Nubala’ (II/288) sedangkan Syaikh asy-Syu’aib al-Arnuth telah mengisyaratkan akan shahihnya sanad dari riwayat tersebut.

[4] Lihat Sirah Ibnu Hisyam (1/487).

[5]  HR. al-Bukhari dalam an-Nikah pada bab: Cemburu (VI/156), Muslim dalam as Salam pada bab: Diperbolehkannya Memboncengkan Wanita yang Bukan Mahram apabila dia Kelelahan di Jalan, no. 2182.

[6]  Lihat ath-Thabaqat Ibnu Sa’ad (VIII/251) dan seterusnya.

[7]  HR. Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat (VIII/253) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (IV/64).

[8] Lihat ath-Thabaqat Ibnu Sa’ad (VIII/254), al-Mustadrak(IV/64). Siyaru A’lam an-Nubala’ oleh adz-Dzahabi (11/293) dan Tarikhul Islam oleh Imam adz-Dzahabi juga (111/136).

Sumber: Buku ‘Mereka Adalah Para Shahabiyah’, Mahmud Mahdi al Istanbuli & Musthafa Abu An Nashir Asy Sylabi, Penerbit at Tibyan.

0 komentar:

Posting Komentar