Gara-gara jama’ah saling berselisih tentang pakai qunut atau tidak, sebuah masjid yang baru dibangun di Malang, Jawa Timur, memutuskan untuk tidak menyelenggarakan shalat Subuh berjama’ah. Demikian diungkapkan Prof Dr Ahmad Zahro pada peringatan Isra' Mi'raj di Masjid Al Inabah Pemkab Gresik, Selasa (11/6).
Prof Zahro menjelaskan, masjid Al Ikhlas di salah satu perumahan Joyo, Malang, itu dibangun oleh temannya bersama warga sekitar. Pada saat pembangunan, semua berperan dan memberikan kontribusi. Pada shalat Maghrib di hari pertama, jama’ah kompak. Demikian pula pada saat shalat Isya’. Namun, masalah muncul pada waktu shalat Subuh akan ditunaikan. Sebagian jama’ah menginginkan pakai qunut, sebagian lagi menginginkan tidak pakai qunut. Karena jama’ah terus bersitegang, akhirnya diputuskan masjid tersebut tidak menyelenggarakan shalat Subuh berjama’ah.
“Sungguh sangat disayangkan, gara-gara qunut, masjid itu tidak menyelenggarakan shalat Subuh berjama’ah. Padahal, shalat Subuh berjama’ah pahalanya seperti qiyamullail semalam suntuk,” terang Direktur Masjid Al Akbar Surabaya itu di hadapan Bupati Gresik dan ratusan pegawai.
Lebih jauh Prof Zahro menjelaskan, orang yang saling ngotot dalam masalah khilafiyah adalah orang yang sempit ilmu. Para ulama yang luas ilmunya, mereka saling bertoleransi dalam masalah-masalah yang diperselisihkan.
Guru besar IAIN Sunan Ampel Surabaya itu kemudian mencontohkan sikap tokoh Muhammadiyah Buya Hamka dan tokoh NU KH Idham Khalid. Keduanya adalah pemimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Hamka sebagai ketua, KH Idham Khalid sebagai wakil ketua. Ketika MUI menggelar sebuah acara yang berlangsung beberapa hari, pada kesempatan pertama Buya Hamka menjadi imam shalat. Mengetahui jama’ahnya banyak kyai NU, Buya Hamka membaca qunut. Usai shalat, banyak jama’ah yang heran. Maka dalam kuliah Subuhnya Buya Hamka menjelaskan bahwa meskipun tak pernah qunut, kali ini ia qunut dalam rangka menghormati pendapat ulama-ulama NU.
Keesokan harinya, Buya Hamka meminta KH Idham Khalid sebagai imam, yang sebelumnya tidak mau. Pada rakaat kedua, setelah iktidal, ternyata KH Idham Khalid langsung sujud, tanpa qunut. Jama’ah heran, namun KH Idham Khalid menjelaskan dalam kuliah Subuhnya, bahwa meskipun selama ini ia selalu qunut, kali ini ia tidak qunut dalam rangka menghormati pendapat ulama-ulama Muhammadiyah.
Prof Zahro menambahkan, tentang Isra’ Mi’raj pun ada beberapa pendapat para ulama mengenai kapan terjadinya. Perbedaan pendapat itu dimungkinkan karena tidak ada hadits Nabi yang menegaskan kapan terjadinya peristiwa luar biasa tersebut. Ada empat pendapat menurut para ulama, yakni isra’ mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rajab. Pendapat kedua, 27 Muharam. Pendapat ketiga, 27 Rabi’ul Awal. Dan keempat, 27 Rabi’ul Akhir.
Prof Zahro pun menyayangkan adanya kelompok yang saat ini sangat bersemangat menyuarakan bahwa Isra’ mi’raj terjadi pada 27 Rabi’ul Awal dan membid’ahkan pendapat yang lain, termasuk memperingatinya.
Selain berpesan agar umat Islam bersatu dan tidak mudah saling menyalahkan, Prof Zahro juga mengajak jama’ah untuk memperbaiki kualitas shalat yang merupakan perintah langsung dari Allah pada isra’ mi’raj Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam.
“Ikan butuh air. Tanpa air, ikan akan mati. Hati butuh dzikir. Tanpa dzikir, hati akan mati. Dan shalat adalah induk dzikir,” pungkas Prof Zahro mengutip dari salah seorang ulama. [IK/lgs]
0 komentar:
Posting Komentar