Home » » Sumayyah Mehan : Puasa Ramadhan Pertamaku Seperti Bencana

Sumayyah Mehan : Puasa Ramadhan Pertamaku Seperti Bencana

Written By learnforex on Selasa, 11 Juni 2013 | 04.20

 Sumayyah Meehan sudah 11 tahun masuk Islam. Tapi hingga kini, ia masih mengingatkan puasa Ramadan pertamanya ketika baru menjadi seorang mualaf. Pengalaman pertama itu membuat Meehan yang sekarang tinggal di Kuwait bersama suami dan tiga anaknya, selalu merindukan datangan bulan suci Ramadan.

Meehan menyebut pengalaman puasa Ramadan pertamanya sebagai “bencana”, karena sebagai mualaf ia belum paham apa dan bagaimana puasa serta bekal spiritual apa yang dibutuhkan untuk menjalankan puasa di bulan Ramadan. Ketika itu, Meehan kesulitan untuk mencari buku-buku Islam berbahasa Inggris. Ia juga tidak bisa mengakses internet.
“Saya banyak melakukan kesalahan saat pertama kali berpuasa di bulan Ramadan. Saya ngeri sendiri kalau mengingatnya,” kata Meehan.

“Saya betul-betul tidak punya persiapan. Saudara-saudara ipar saya mengira saya tahu apa yang harus saya lakukan. Mereka tidak memahami bahwa saya seorang mualaf baru dan tidak mengerti harus melakukan apa. Saat itu malam sebelum hari pertama Ramadan, saya cuma tahu saya harus puasa, menahan diri dari makan dan minum. Saya betul-betul syok dan tidak tahu apa-apa,” papar Meehan.

Apa yang dikhawatirkan Meehan terbukti. Di hari pertama puasa, ia merasa seperti akan mati karena kehausan dan perutanya keroncongan sepanjang hari. “Ketika waktunya berbuka, saya masih ingat ketika itu saya langsung minum satu gelas besar …” imbuhnya.

Meehan merasa tersiksa dan tidak yakin bisa menjalankan puasa sebulan penuh. Ketika merasa putus asa, secara tak sengaja suatu sore Meehan melihat sebuah artikel di koran yang ditulis dalam bahasa Inggris oleh Dr. Hamid. Artikel itu berisi penjelasan tentang seluk beluk Ramadan dan apa yang seharusnya dilakukan umat Islam selama bulan puasa. Meehan jad antusias karena akhirnya ia menemukan tuntunan untuk menunaikan puasa Ramadan.

Setelah membaca artikel itu. Di hari kedua Ramadan, Meehan bisa menjalankan puasa dengan lebih baik. “Saya berterima kasih pada Dr. Hamid, ia kontributor yang sudah menulis selama bertahun-tahun di surat kabar itu. Dia sudah banyak mengajarkan saya tentang Islam,” ujar Meehan.

Meehan mengumpulkan tulisan-tulisan Dr. Hamid tentang Islam di koran tersebut. Ia membundelnya menjadi tiga buku. “Cuma buku-buku ini saya punya dan bisa saya temukan. Saat itu, semua buku kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab,” keluhnya.

Tapi ia kecewa, karena setelah itu, ia tidak melihat lagi tulisan Dr. Hamid di koran, sampai berbulan-bulan. Meehan menduga Dr. Hamid mungkin sudah tidak tinggal lagi di Kuwait atau mungkin sudah meninggal. Meehan menganggap Dr. Hamid sebagai gurunya dan ia sedih tidak bisa membaca lagi artikel-artikel yang ditulis Dr. Hamid tentang Islam.

Sampai sekarang Meehan masih menyimpan bundelan artikel Dr Hamid. Ia ingin memberikannya pada anak-anaknya. “Meski klipingnya sudah berwarna kuning dan lemnya sudah banyak yang lepas, tapi informasi dalam kliping ini tidak ternilai,” ujar Meehan.

Dari pengalaman puasa pertamanya, Meehan introspeksi diri bahwa ia seharusnya lebih banyak mempelajari Islam terlebih dulu sebelum memutuskan masuk Islam. Ketika mengucapkan dua kalimat syahadat, Meehan berpikir bahwa segala sesuatunya akan mudah-mudah saja, tapi ternyata tidak.

“Saya sudah berjalan jauh untuk meningkatkan keimanan dan pengetahuan saya tentang Islam. Sekarang saya berani bilang bahwa hubungan saya dengan bulan suci Ramadan, jauh lebih baik dibandingkan ketika pertama kali saya mengenal Ramadan,” tegas Meehan.

“Saya mencintai bulan Ramadan. Jujur, Ramadan selalu di hati saya. Bulan dimana kita meningkatkan ibadah dan melakukan banyak hal untuk Allah dan untuk kemanusiaan. Ramadan adalah kesempatan untuk mengendalikan kebutuhan fisik, seperti menahan lapar dan dahaga sebagai bentuk kepatuhan pada Allah Swt,” tutur Meehan.

Bagai Meehan, bulan Ramadan sangat istimewa. Di bulan ini, umat Islam banyak menghabiskan malam-malamnya untuk beribadah dan memohon ampunan pada Allah. “Ramadan juga menjadi bulan yang penuh keceriaan. Bangun tengah malam untuk makan sahur, saya masih bisa mengingat harumnya aroma roti yang hangat dan ketika saya membuka jendela, saya melihat semua orang sibuk menyiapkan makanan di rumah mereka,” kenang Meehan. (iol/L)

0 komentar:

Posting Komentar