Home » » Abu Ghiyats dan Istrinya: Balasan dari Sebuah Kejujuran

Abu Ghiyats dan Istrinya: Balasan dari Sebuah Kejujuran

Written By learnforex on Kamis, 29 Agustus 2013 | 01.44

Di antara tanda-tanda kejujuran adalah takut kepada Allah dan zuhud dalam urusan dunia. Orang yang jujur dalam urusan dunia. orang yang takut dalam keyakinannya akan takut memakan barang-barang haram. Dia lebih memikul kemiskinan dan kesulitan demi mengharap surga. Jika dia berdosa, maka dia tidak tidur hingga dia kembali kepada Tuhannya dan berlepas diri dari dosanya.
Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Pada musim haji aku berada di Mekah. Aku melihat seorang laki-laki dari Khurasan mengumumkan ‘Wahai para jamaah haji, wahai penduduk Mekah, di kota maupun di pedesaan, aku kehilangan sebuah kantong berisi seribu dinar. Siapa yang mengembalikannya kepadaku, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan dan membebaskannya dari neraka, serta dia mendapat pahala balasan pada hari kiamat.”

Berdirilah seorang laki-laki tua dari penduduk Mekah. Dia berkata, “Wahai orang Khurasan, negeri kami ini tabiatnya keras, musim haji adalah waktu yang terbatas, hari-harinya terhitung, dan pintu-pintu usaha tertutup. Mungkin hartamu itu ditemukan oleh seorang mukmin yang miskin atau orang lanjut usia dan dia mendapatkan janjimu. Seandainya dia mengembalikannya padamu, apakah kamu bersedia memberinya sedikit harta yang halal?”

Khurasani menjawab, “Berapa jumlah hadiah yang dia inginkan?”

Orang tua menjawab, “Sepuluh persen, seratus dinar.”

orang Khurasan itu tidak mau. Dia berkata, “Tidak, tetapi aku menyerahkan urusannya kepada Allah dan akan aku adukan dia pada hari dimana kita semua meghadap kepada-Nya. Dialah yang mencukupi kita dan sebaik-baik pelindung.”

Ibnu Jarir berkata, “Hatiku berkata bahwa orang tua itu adalah orang miskin. Dialah penemu kantong dinar tersebut dan ingin memperoleh sedikit darinya. Aku menguntitnya sampai dia tiba di rumahnya. Ternyata dugaanku benar, aku mendengarnya memanggil, ‘Wahai Lubabah’. Istrinya menjawab, ‘Baik Abu Ghiyats’. Orang itu berkata lagi, “Baru saja aku berjumpa dengan pemiliki kantong yang mengumumkan kehilangan kantong ini, tetapi dia tidak mau memberi penemunya sedikit pun. Aku telah mengatakan kepadanya untuk memberi seratus dinar, tapi ia menolak dan menyerahkan urusannya kepada Allah. Apa yang harus aku lakukan wahai Abu Lubabah? Haruskah dikembalikan? Aku takut kepada Allah. Aku takut dosaku bertumpuk-tumpuk.”

Lubabah, istrinya menjawab, “Suamiku, kita telah menderita kemiskinan selama 50 tahun. Kamu mempunyai empat anak perempuan, dua saudara perempuan, aku istrimu dan juga ibuku, lalu kamu yang kesempbilan. Kita tidak mempunyai kambing, tidak ada padang gembala. Ambil semua uangnya. Kenyangkan kami, karena kami semua lapar. Beli pakaian untuk kami. Kamu lebih mengerti tentang keadaan kita. Dan semoga Allah membuatmu kaya sesudah itu. Maka kamu bisa mengembalikan uang itu setelah kamu memberi makan keluargamu, atau Allah melunasi utangmu ini di hari kiamat.”

Pak tua itu berkata pada istrinya, “Apakah aku makan barang haram setelah aku menjalani hidup selama 86 tahun? Aku membakar perutku dengan neraka setelah sekian lama aku bersabar atas kemiskinanku dan mengundang kemarahan Allah, padahal aku sudah di ambang pintu kubur. Demi Allah aku tidak akan melakukannya.”

Ibnu Jarir berkata, “Aku pergi dengan terheran-heran terhadap bapak tua itu dan istrinya. Keesokan harinya pada waktu yang sama dengan kemarin, aku mendengar pemiliki dinar mengumumkan, “Wahai penduduk Mekah, wahai para jamaah haji, wahai tamu-tamu Allah dari desa maupun dari kota, siapa yang menemukan sebuah kantong berisi seribu dinar, maka hendaknya dia mengembalikannya kepadaku dan baginya balasan pahala dari Allah.”

Bapak tua itu berdiri dan berkata, “Hai orang Khurasan, kemarin aku telah mengatakan kepadamu, aku telah memberimu saran. Di kota kami ini, demi Allah, tumbuh-tumbuhan dan ternaknya sedikit. Bermurah hatilah sedikit kepada penemu kantong itu sehingga dia tidak melanggar syariat. Aku telah mengatakan kepadamu untuk memberi orang yang menemukan kantong tersebut seratus dinar, tetapi kau menolaknya. Jika uang tersebut ditemukan oleh seseorang yang takut kepada Allah, apakah sudi kau memberinya sepuluh dinar saja, bukan seratus dinar? Agar bisa menjadi penutup dan pelindung baginya dalam kebutuhannya sehari-hari.”

Orang Khurasan itu menjawab, “Tidak. Aku berharap pahala hartaku di sisi Allah dan mengadukannya pada saat kita bertemu dengan-Nya. Dialah yang mencukupi kami dan Dialah sebaik-baik penolong.”

Orang tua itu menariknya sambil berkata, Kemarilah kamu. Ambillah dinarmu dan biarkan aku tidur di malah hari. Aku tidak pernah tenang sejak menemukan harta itu.”

Ibnu Jarir berkata, “Orang tua itu pergi bersama pemiliki dinar. Aku membuntuti keduanya hingga orang tua itu masuk rumahnya. Dia menggali tanah dan mengeluarkan dinar itu. Dia berkata, ‘Ambil uangmu. Aku memohon kepada Allah agar memaafkanku dan memberiku rezeki dari karunia-Nya’.”

Orang Khurasan itu mengambil dinarnya, dan ketika dia hendak keluar, ia kembali bertanya, “Pak tua, bapakku wafat -semoga Allah merahmatinya- dan meninggalkan untukku tiga ribu dinar. Dia mewasiatkan kepadaku, ‘Ambil sepertiganya dan berikan kepada orang yang paling berhak menerimanya menurutmu’. Maka aku menyimpannya di kantong ini sampai aku memberikannya kepada yang berhak. Demi Allah, sejak aku berangkat dari Khurasan sampai di sini aku tidak melihat seseorang yang lebih berhak untuk menerimanya kecuali dirimu. Ambillah! Semoga Allah memberkahimu. Semoga Allah membalas kebaikan untukmu atas amanahmu dan membalas kesabaranmu atas kemiskinanmu.” Lalu dia pergi dan meninggalkan dirinya.

Bapak tua itu menangis. Dia berdoa kepada Allah, “Semoga Allah memberi rahmat kepada pemiliki harta di kuburnya. Dan semoga Allah memberi berkah kepada anaknya.”

Ibnu Jarir berkata, “Maka aku pun meninggalkan tempat itu dengan berjalan di belakang orang Khurasan itu, tetapi Abu Ghiyats menyusulku dan meminta kembali. Dia berkata kepadaku, ‘Duduklah, aku melihatmu mengikutiku sejak hari pertama. Kamu mengetahui berita ini kemarin dan hari ini. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar dan Ali radhiallahu ‘anhuma, “Apabila Allah memberi kalian berdua hadiah tanpa meminta dan tanpa mengharapkan, maka terimalah dan jangan menolaknya. Karena jika demikian, maka kalian berdua telah menolaknya kepada Allah”. Dan ini adalah hadiah dari Allah bagi siapa saja yang hadir.”

Abu Ghiyats lalu memanggil, “Wahai Lubabah, wahai Fulanah, wahai Fulanah.” Dia memanggil putri-putrinya, dua saudara perempuannya, istrinya dan mertuanya. Dia duduk dan memintaku untuk duduk. Kami semua bersepuluh. Dia membuka kantong dan berkata, “Beberkan pengakuan kalian.” Maka aku membeberkan pengakuanku. Adapun mereka, karena tidak memiliki pakaian, maka mereka tidak bisa membentangkan pengakuan mereka. Mereka menadahkan tangan mereka. Pak tua itu mulai menghitung dinar demi dinar, sampai pada dinar kesepuluh dia memberikannya kepadaku sambil berkata, “Kamu dapat dinar.” Isi kantongnya yang seribu dinar itu pun habis dan aku diberinya seratus dinar.

Ibnu Jarir berkata, “Kebahagian mereka atas karunia Allah lebih membahagiakan diriku daripada mendapatkan 100 dinar ini. Manakala aku hendak pergia, dia berkata kepadaku, “Anak muda, kamu penuh berkah. Aku tidak pernah melihat uang ini dan juga tidak pernah memimpikannya. Aku berpesan kepadamu bahwa harta itu halal, maka jagalah dengan baik. Ketahuilah, sebelum ini aku shalat subuh dengan baju usang ini. Kemudia aku melepasnya sehingga anakku satu per satu bisa memakainya untuk shalat. Lalu aku pergi bekerja antara zuhur dan asar. Pada petang hari aku pulang dengan membawa rezeki yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadaku, kurma dan beberapa potong roti. Kemudian aku melepas pakaian usang ini untuk digunakan shalat zuhur dan asar oleh putri-putriku. Begitu pula shalat maghrib dan isya. Kami tidak pernah membayangkan melihat dinar-dinar ini. Semoga harta ini bermanfaat, dan semoga apa yang aku dan kamu ambil juga bermanfaat. Semoga Allah merahmati pemiliknya di kuburnya, melipatgandakan pahala bagi anaknya, dan berterima kasih kepadanya.”

Ibnu Jarir berkata, “Aku berpamitan dengannya. Aku telah mengantongi seratus dinar. Aku menggunakannya untuk biaya mencari ilmu selama dua tahun. Aku memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Aku membeli kertas, bepergian dan membayar ongkosnya dengan uang itu. Enam belas tahun kemudian aku kembali ke Mekah. Aku bertanya tentang bapak tua itu dan ternyata dia telah wafat beberapa bulan setelah peristiwa itu. Begitu pula istrinya, mertuanya, dan dua saudara perempuanya, semuanya telah wafat kecuali putri-putrinya. Aku bertanya tentang mereka. Ternyata mereka telah menikah dengan para gubernur dan raja. Hal itu karena berita kebaikan orang tuanya yang menyebar di seantero negeri. Aku singgah di rumah suami-suami mereka dan mereka menyambutku dengan baik, memuliakanku, hingga Allah mewafatkan mereka. Semoga Allah memberkahi mereka dengan apa yang mereka dapat.”

Firman Allah Ta’ala, “Demikianlah diberi pengajaran kepada orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya.”

Lihatlah bagaimana rezeki yang didapatkan Abu Ghiyats, rezeki yang Allah tetapkan tidak berkurang karena kejujuran dan tidak pula bertambah dengan kebohongan atau dusta demikian pula jatah rezeki tersebut tidak bertambah dengan Korupsi.

Sumber: Ensiklopedi Kisah Generasi Salaf

0 komentar:

Posting Komentar