Tidak seperti kebanyakan binatang lainnya, semut memiliki cara unik dalam menghasilkan keturunan. Praduga bahwa mereka adalah binatang aseksual sepertinya harus ditimbang ulang. Pasalnya, ada beberapa penelitian yang menyebut bahwa mereka juga kawin.
Koloni semut dibagi menjadi beberapa kasta. Ada kelas pekerja, tentara, drone alias pejantan, dan ratu. Dari situ muncul pertanyaan, siapa yang paling berperan dalam proses reproduksi?
Pembiakan sel telur menjadi anakan semut memang diemban oleh Sang Ratu, tapi yang paling berperan besar adalah para drone yang memiliki tugas kawin dengan ratu. Pejantan ini berkembang dari telur yang tidak dibuahi dengan tujuan membuat keturunan.
Selain menjadi pejantan, biasanya telur-telur ini akan menetas menjadi betina bersayap yang kelak akan menjadi ratu dalam sebuah koloni semut.
Walter Tschinkel, peneliti semut dari Florida States University, menjelaskan, saat pejantan sudah siap untuk kawin, mereka akan terbang ke puncak bukit atau ke atas pohon secara berkelompok. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian ratu koloni.
Saat proses kawin, pejantan akan memasukkan alat kelaminnya, disebut aedeagus, ke saluran reproduksi betina untuk menyimpan sperma. Sang ratu akan menyimpan sperma tersebut dan mereproduksinya menjadi telur sampai sisa umurnya.
Kondisi ini memungkinkan si ratu dapat bertelur beberapa kali meskipun tidak melakukan proses kawin untuk kali kedua. Sperma yang tersimpan, berfungsi dalam jangka waktu yang relatif lama.
Tapi sial bagi pejantan, setelah melakukan proses kawin, ajal biasanya akan menghampiri mereka. Di sisi lain, sang ratu akan memutuskan sayapnya dan pindah ke koloni yang lain.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Walter Tschinkel ini juga semakin menguatkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Christian Rabeling dari Harvard. Pada penelitian itu, Christian membuktikan bahwa semut bukanlah binatang aseksual seperti yang diduga selama ini. Dari sampel gen 234 semut yang ada di Amazon ditemukan sperma di dalam 'spermatheca' alias tempat penyimpanan sperma sang ratu. (pm/nationalgeographic)
0 komentar:
Posting Komentar