Selama ini ada sebuah adagium yang berkembang di dunia Islam dan sangat diyakini kebenarannya, agama Islam itu “Ya’lu wa la yu’la alaihi” (unggul dan tidak ada yang lebih unggul darinya). Adagium ini tidak hanya menjadi sebuah slogan kebanggaan semata, tetapi telah dibuktikan oleh umat Islam dengan menguasai sebagian besar wilayah di dunia dan membangun sebuah peradaban yang tak tertandingi pada masanya.
Kemajuan peradaban ini ditandai dengan revolusi ilmiah yang terjadi secara besar-besaran di dunia Islam. Cendekia-cendekia muslim pun bermunculan dalam berbagai disiplin pengetahuan, baik dalam bidang agama maupun non-agama (pengetahuan umum). Tidak hanya menyangkut permasalahan fiqih dan teologi, tetapi juga dalam bidang filsafat, matematika, astronomi, kedokteran dan lain sebagainya. Satu hal yang menarik adalah para cerdik cendekia tersebut mempunyai pandangan yang menunjukkan adanya kesatupaduan antara ilmu pengetahuan dan iman. Tradisi ilmiah dalam masyarakat muslim pada saat itu mempunyai nilai yang sangat “Islamis” karena kuatnya pengaruh dari kitab suci Al-Quran.
Namun kegemilangan peradaban umat Islam tersebut, pada saat ini hanya menjadi artefak yang menyimpan nostalgia keindahan sejarah. Sedikit demi sedikit umat Islam mulai mengalami kemunduran dan kelemahan di berbagai bidang. Dimulai dengan terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam dan saling berebut kekuasaan di kalangan kerajaan yang mengakibatkan merosot nya kekuasaan khalifah serta melemahnya posisi umat Islam sampai akhirnya terjadi tragedi yang menjadi catatan hitam dalam sejarah, jatuhnya Baghdad ke tangan Hulagu yang diikuti dengan pengrusakan pusat-pusat kegiatan ilmiah dan pembantaian secara besar-besaran terhadap para guru dan ilmuwan.
Hal ini mengakibatkan umat Islam kehilangan harmoni dan tidak menentu arahnya. Kepahitan ini ditambah lagi dengan kekalahan umat Islam dalam perang Salib III sehingga konsekuensi yang harus diterima adalah hancur dan hilangnya ruh peradaban. Umat Islam pun mengalami kemunduran yang serius dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan kebudayaan yang diikuti kekalahan dalam kehidupan intelektual, moral, kultural, budaya, dan ideologi.
Revolusi industri di Inggris dan revolusi sosial politik di Perancis pada paruh kedua abad ke-18 yang merupakan titik awal pencerahan (renaissance) di Eropa menuju peradaban modern mengantarkan Barat mencapai sukses luar biasa dalam pengembangan teknologi masa depan. Sedangkan Umat Islam malah mengalami kemunduran-kemunduran sistemik dalam alur peradabannya. Praktis, menurut Nurcholish Madjid, dunia Islam dewasa ini merupakan kawasan bumi yang paling terbelakang di antara penganut-penganut agama besar di dunia dikarenakan begitu rendahnya kemajuan yang diraih dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Umat Islam hanya menjadi penonton bahkan “terbuai” oleh kenikmatan semu yang disuguhkan oleh Barat dengan kecanggihan teknologinya.
Sejak terjadinya pencerahan di Eropa, perkembangan ilmu-ilmu rasional dalam semua bidang kajian sangat pesat dan hampir keseluruhannya dipelopori oeh ahli sains dan cendikiawan Barat. Akibatnya, ilmu yang berkembang dibentuk dari acuan pemikiran falsafah Barat yang dipengaruhi oleh sekularisme, utilitarianisme, dan materialisme. Sehingga konsep, penafsiran, dan makna ilmu itu sendiri tidak bisa terhindar dari pengaruh pemikirannya.
Konsep pemikiran demikian dikonsumsi oleh umat Islam -sebagai umat yang kalah- yang mulai tergantung kepada Barat. Mereka (umat Islam) mempelajari sains Barat tanpa menyadari kaitan tali-temali historis Barat dan ilmu-ilmu Barat, sehingga umat Islam pun terjatuh dalam hegemoni Barat (imperialisme cultural) dan proses ini mengakibatkan esensi peradaban Islam semakin tidak berdaya di tengah kemajuan peradaban Barat yang sekuler.
Hegemoni peradaban Barat yang didominasi oleh pandangan hidup saintifik (scientific worldview) tersebut, menurut Adnin Armas, membawa dampak yang sangat negatif terhadap peradaban lainnya, termasuk Islam. Pada tataran epistemologi, terjadi proses westernisasi yang dikatakan Syed Naquib al-Attas sebagai “virus” yang terkandung dalam ilmu pengetahuan Barat modern-sekuler, dan ini merupakan tantangan terbesar bagi kalangan kaum muslimin saat ini.
Munculnya kesadaran bahwa paradigma ilmu pengetahuan yang telah terpengaruh oleh sekularisme, utilitarianisme dan materialisme telah menjadikan pengetahuan modern menjadi kering dan kehilangan kesakralannya (terpisah dari nilai-nilai tauhid dan teologis). Akibatnya, menurut C.A. Qadir, terjadi pengasingan dan pemisahan dalam kehidupan manusia. Manusia modern menderita pengasingan (alienation) dan anomie.
Terdapat ketidakseimbangan dan ketidaktertiban. Jiwa manusia kini mengalami schizophrenia kerohanian, yang tidak mempunyai jalan keluar kecuali dengan kembali kepada sumber Primordial dan menghidupkan kembali aspek kesakralan ini. Hilangnya aspek kesakralan dari konsep ilmu Barat serta sikap keilmuan muslim yang menyebabkan terjadinya stagnasi setelah memisahkan wahyu dari akal, dan memisahkan pemikiran dari aksi dan kultur dipandang sama berbahayanya bagi perkembangan keilmuan Islam.
Sistem pendidikan di Indonesia secara umum masih dititikberatkan pada kecerdasan kognitif. Hal ini dapat dilihat dari orientasi sekolah-sekolah yang ada masih disibukkan dengan ujian, mulai dari ujian mid, ujian akhir hingga ujian nasional. Ditambah latihan-latihan soal harian dan pekerjaan rumah untuk memecahkan pertanyaan di buku pelajaran yang biasanya tak relevan dengan kehidupan sehari hari para siswa.
Saatnya para pengambil kebijakan, para pendidik, orang tua dan masyarakat senantiasa memperkaya persepsi bahwa ukuran keberhasilan tak melulu dilihat dari prestasi angka-angka. Hendaknya institusi sekolah menjadi tempat yang senantiasa menciptakan pengalaman-pengalaman bagi siswa untuk membangun dan membentuk karakter unggul. (th/sbb/dakwatuna)
0 komentar:
Posting Komentar