Oleh : Rudi Hendrik *
Dalam Perang Badar, Abu Ubaidah bin Jarrah radhiyallahu ‘anhu berhasil menyusup ke barisan musuh tanpa takut mati. Namun satu tentara berkuda kaum musyrikin menghadang dan mengejarnya. Ke mana pun dia lari, tentara itu terus mengejarnya dengan beringas.
Abu Ubaidah terus menghindar dan berusaha menjauhkan diri agar tidak bertarung dengan pengejarnya.
Namun ketika si pengejar bertambah dekat dan Abu Ubaidah tidak bisa lagi menghindar untuk bertarung, Abu Ubaidah mengayunkan pedang ke arah kepala lawan pada kesempatan yang strategis. Sang lawan tewas seketika dengan kepala terbelah.
Lawan Abu Ubaidah tidak lain adalah Abdullah bin Jarrah, ayah kandungnya sendiri. Abu Ubaidah tidak membunuh ayahnya, tapi membunuh kemusyrikan yang bersarang dalam pribadi ayahnya.
Berkenaan dengan kasus Abu Ubaidah ini, Allah Subhana Wa Ta’ala berfirman:
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ ۖ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ أُولَٰئِكَ حِزْبُ اللَّهِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.”(QS. Al-Mujadilah [58] ayat 22).
Ayat di atas tidak membuat Abu Ubaidah besar kepala dan membusungkan dada. Bahkan menambah kokoh imannya kepada Allah dan ketulusannya terhadap agama-Nya.
Kepercayaan Umat
Abu Ubaidah adalah termasuk orang yang pertama-tama masuk Islam. Kualitasnya dapat kita ketahui melalui sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Sesungguhnya setiap umat mempunyai orang kepercayaan, dan kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.”
Abu Ubaidah termasuk orang yang masuk Islam dari sejak awal, beliau memeluk Islam selang sehari setelah Abu Bakar as-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu memeluk Islam. Beliau masuk Islam bersama Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Mazun dan Arqam bin Abu al-Arqam, melalui tangan Abu Bakar as-Shiddiq. Abu Bakarlah yang membawakan mereka menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk menyatakan syahadat.
Abu Ubaidah lahir di Makkah, di sebuah rumah keluarga suku Quraisy terhormat. Nama lengkapnya adalah Amir bin Abdullah bin Jarrah yang dijuluki dengan nama Abu Ubaidah. Perawakannya tinggi, kurus, berwibawa, bermuka ceria, rendah diri dan sangat pemalu. Beliau termasuk orang yang berani ketika dalam kesulitan, disenangi oleh semua orang yang melihatnya, siapa yang mengikutinya akan merasa tenang.
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata tentang orang-orang yang mulia. "Ada tiga orang Quraisy yang sangat cemerlang wajahnya, tinggi akhlaknya dan sangat pemalu. Bila berbicara mereka tidak pernah dusta. Dan apabila orang berbicara, mereka tidak cepat-cepat mendustakan. Mereka itu adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Utsman bin Affan, dan Abu Ubaidah bin Jarrah."
Kehidupan Abu Ubaidah tidak jauh berbeda dengan kebanyakan sahabat lainnya, diisi dengan pengorbanan dan perjuangan menegakkan Diin Islam. Hal itu tampak ketika beliau harus hijrah ke Ethiopia pada gelombang kedua demi menyelamatkan aqidahnya. Namun kemudian beliau kembali untuk menyertai perjuangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Penggigit Rantai di Pipi Rasulullah
Dalam perang Uhud, ketika pasukan Muslimin kucar kacir dan banyak yang lari meninggalkan pertempuran, justru Abu Ubaidah berlari untuk mendapati Nabinya tanpa takut sedikit pun terhadap banyaknya lawan dan rintangan.
Abu Ubaidah mendapati pipi Nabi terluka, yaitu terhujamnya dua rantai besi penutup kepalanya. Segera dia berusaha untuk mencabut rantai tersebut dari pipi Nabi Shallallahu ‘Alahi Wasallam.
Abu Ubaidah mulai mencabut rantai tersebut dengan gigitan giginya. Rantai itu pun akhirnya terlepas dari pipi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Namun bersamaan dengan itu pula gigi seri Abu Ubaidah ikut copot dari tempatnya. Abu Ubaidah tidak jera. Diulanginya sekali lagi untuk mengigit rantai besi satunya yang masih menancap di pipi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hingga terlepas. Dan kali ini pun harus juga diikuti dengan lepasnya gigi Abu Ubaidah, sehingga dua gigi seri sahabat ini ompong karenanya.
Kepercayaan Umat yang Gagah dan Jujur
Suatu ketika datang sebuah delegasi dari kaum Nasrani menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Mereka mengatakan, “Ya Abul Qassim! Kirimkanlah bersama kami seorang sahabatmu yang engkau percayai untuk menyelesaikan perkara kebendaan yang sedang kami pertengkarkan, karena kaum Muslimin di pandangan kami adalah orang yang disenangi.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda kepada mereka, “Datanglah ke sini nanti sore, saya akan kirimkan bersama kamu seorang yang gagah dan jujur.”
Dalam kaitan ini, Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Saya berangkat mau shalat Zhuhur agak cepat, sama sekali bukan karena ingin ditunjuk sebagai delegasi, tetapi karena memang saya senang pergi shalat cepat-cepat. Setelah Rasulullah selesai mengimami shalat Zhuhur bersama kami, beliau melihat ke kiri dan ke kanan. Saya sengaja meninggikan kepala saya agar beliau melihat saya, namun beliau masih terus membalik-balik pandangannya kepada kami. Akhirnya beliau melihat Abu Ubaidah bin Jarrah, lalu beliau memanggilnya sambil bersabda, ‘Pergilah bersama mereka, selesaikanlah kasus yang menjadi perselisihan di antara mereka dengan adil.’ Lalu Abu Ubaidah pun berangkat bersama mereka.”
Menaklukkan Syam (Suriah)
Dalam musyawarah pemilihan khalifah yang pertama (Al-Yaum Ats-Tsaqifah), Umar bin Khaththab mengulurkan tangannya kepada Abu Ubaidah seraya berkata, "Aku memilihmu dan bersumpah setia, karena aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, 'Sesungguhnya tiap-tiap umat mempunyai orang kepercayaan. Dan orang paling dipercaya dari umat ini adalah engkau."
Abu Ubaidah menjawab, "Aku tidak mau mendahului orang yang pernah disuruh Rasulullah untuk mengimami kita shalat sewaktu beliau hidup (Abu Bakar Ash-Shiddiq). Walaupun sekarang beliau telah wafat, marilah kita imamkan juga dia."
Akhirnya mereka sepakat untuk memilih dan membai’at Abu Bakar menjadi khalifah pertama, sedangkan Abu Ubaidah diangkat menjadi penasihat dan pembantu utama khalifah.
Setelah Abu Bakar wafat, jabatan khalifah pindah ke tangan Umar bin Khaththab. Abu Ubaidah selalu dekat dengan Umar dan tidak pernah menolak perintahnya.
Pada masa pemerintahan Umar, Abu Ubaidah memimpin tentara Muslimin menaklukkan wilayah Syam (Suriah). Dia berhasil memperoleh kemenangan berturut-turut, sehingga seluruh wilayah Syam takluk di bawah kekuasaan Islam, dari tepi sungai Furat di sebelah timur hingga Asia Kecil di sebelah utara.
Pemimpin Zuhud dalam Wabah Penyakit
Sisi lain dari kehebatan sahabat yang satu ini adalah kezuhudannya. Ketika kekuasaan Islam telah meluas dan kekhalifahan dipimpin oleh Umar bin Khaththab, Abu Ubaidah menjadi pemimpin di daerah Syria.
Saat Umar mengadakan kunjungan dan singgah di rumahnya, tak terlihat sesuatu pun oleh Khalifah kecuali pedang, perisai dan pelana tunggangannya.
Umar bertanya, “Wahai sahabatku, mengapa engkau tidak mengambil sesuatu sebagaimana orang lain mengambilnya?”
Abu Ubaidah menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, ini saja sudah cukup menyenangkan.”
Ketika wabah penyakit Taun merajalela di negari Syam, Khalifah Umar mengirim surat untuk memanggil kembali Abu Ubaidah. Namun Abu Ubaidah menyatakan keberatannya sesuai dengan isi surat yang dikirimkannya kepada Khalifah yang berbunyi,
“Wahai Amirul Mukminin! Sebenarnya saya tahu, kalau kamu memerlukan saya, akan tetapi seperti kamu ketahui saya sedang berada di tengah-tengah tentara Muslimin. Saya tidak ingin menyelamatkan diri sendiri dari musibah yang menimpa mereka dan saya tidak ingin berpisah dari mereka sampai Allah sendiri menetapkan keputusannya terhadap saya dan mereka. Oleh sebab itu, sesampainya surat saya ini, tolonglah saya dibebaskan dari rencana baginda dan izinkanlah saya tinggal di sini.”
Setelah Umar membaca surat itu, beliau menangis, sehingga para sahabat yang lain bertanya, “Apakah Abu Ubaidah sudah meninggal?” Umar menjawabnya, “Belum, akan tetapi kematiannya sudah di ambang pintu.”
Sepeninggal Abu Ubaidah radhiyallahu ‘anhu, Muaz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berpidato di hadapan kaum Muslimin yang berbunyi, “Hai sekalian kaum Muslimin! Kalian sudah dikejutkan dengan berita kematian seorang pahlawan, yang demi Allah saya tidak menemukan ada orang yang lebih baik hatinya, lebih jauh pandangannya, lebih suka terhadap hari kemudian dan sangat senang memberi nasihat kepada semua orang dari beliau. Oleh sebab itu kasihanilah beliau, semoga kamu akan dikasihani Allah.”
Menjelang kematiannya, Abu Ubaidah berpesan kepada tentaranya, “Saya pesankan kepada kalian sebuah pesan. Jika kalian terima, kalian akan baik, ‘Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, puasalah di bulan Ramadhan, berdermalah, tunaikanlah ibadah haji dan umrah, saling nasihat menasihatilah kalian, sampaikanlah nasihat kepada pimpinan kalian, jangan suka menipunya, janganlah kalian terpesona dengan keduniaan, karena betapa pun seorang melakukan seribu upaya, dia pasti akan menemukan kematiannya seperti saya ini. Sungguh Allah telah menetapkan kematian untuk setiap pribadi manusia, oleh sebab itu semua mereka pasti akan mati. Orang yang paling beruntung adalah orang yang paling taat kepada Allah dan paling banyak bekalnya untuk akhirat. Assalamu ‘alaikum warahmatullah.”
Kemudian beliau melihat kepada Muaz bin Jabal dan mengatakan, “Ya Muaz! Imamilah shalat mereka.”
Setelah itu, Abu Ubaidah radhiyallahu ‘anhu pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. (mina).
Home »
KISAH ISLAMI
» ABU UBAIDAH MEMBUNUH AYAHNYA KARENA ALLAH
0 komentar:
Posting Komentar